Friday, 5 February 2016

Chocolate Love (part 3)

3

Any bitter past remains ever exist, will never be forgotten

Malam itu Merisa duduk sendirian dibalcon kamarnya sambil menatap bintang di langit. Ia memang suka melihat langit saat malam hari. Karena menurutnya, itulah saat terbaik dimana ia bisa merenung dan menangis sepuasnya merindukan mamah.

“Mah, Merisa janji, Merisa akan jadi anak yang membanggakan untuk mamah.”
Begitulah kata Merisa terhadap bintang, seolah bintang dilangit itu adalah mamahnya yang hanya bisa dilihatnya dari jauh dan menerangi hidupnya pada malam hari. Merisa menangis menatap bintang. Tangannya memeluk erat foto terakhir dirinya bersama mamahnya. Foto terakhir yang diambil dari jepretan kamera SLR milik sahabatnya pada hari kelulusan Merisa.
***
Satu tahun yang lalu…

“Mer, selamat ya, elo berhasil raih predikat lulusan terbaik tahun ini” Ucapan selamat dari sahabatnya itu masih teringat jelas di ingatannya.

“Iya, thanks yaa, congratulation too for you, elo kan juga lulus dengan nilai yang memuaskan.” Jawab Merisa dengan wajah yang riang.
Jelas bahagia lah. Siapa coba yang engga bangga lulus UN dengan nilai terbaik satu sekolah? Pasti engga ada yang engga bangga.

“Nih! Buat lo” sahabatnya tersenyum. Ia memberikan sebungkus coklat untuk Merisa

“Thanks yaa” jawab Merisa tersenyum
Mamahnya Merisa tiba-tiba datang dan menanyakan hasil kelulusan putrinya.

“Gimana Mer hasilnya? Maaf mamah baru datang, tadi harus mengantar catering dulu” Mamah Merisa memang sudah lama buka usaha catering dirumahnya. Meski awalnya hasilnya tidak memungkinkan, tapi lama-kelamaan hasilnya lumayan juga. Beliau juga mempekerjakan 2 orang pegawai dirumahnya, yang merupakan 2 orang kakak adik seusia 19 – 22 tahunan.

“Alhamdulillah tante, Merisa lulus dengan nilai terbaik tahun ini” jawab sahabat Merisa itu dengan wajah sumringah.

“Alhamdulillah Mer, kamu jadi bisa daftar SMA dengan tes beasiswa, lumayan kan daripada mamah harus ngeluarin duit lagi buat biaya sekolah kamu” jawab tante Marina dengan guyonannya. Tante Marina memang ingin sekali putrinya bisa sukses dan sekolah dengan beasiswa. Karena dengan begitu, penghasilannya selama ini bisa ia tabung lebih banyak untuk keperluan Merisa lainnya nanti.

“Iya mah, ini kan juga buat mamah, berkat mamah, dan demi mamah juga” sahut Merisa sambil memeluk mamahnya.
Tiba-tiba tante Dona datang dan langsung memberi ucapan selamat kepada Merisa.

“Mer, selamat yah, udah lulus dengan nilai terbaik tahun ini, tante bangga sama kamu” Tante Dona ini adalah ibu dari sahabat dekatnya itu. Tante Dona memang sudah menganggap Merisa seperti anak kandungnya sendiri. Begitupun Tante Marina kepada sahabat Merisa.

“Tuh, kamu juga harusnya bisa mencontoh Merisa, selain papah mamah bangga, kamu kan juga bisa bangga dengan hasil kerja kerasmu sendiri” Nasehat tante Dona kepada anaknya.
Kenangan terakhir dimana mamahnya bisa mengucapkan selamat atas keberhasilan Merisa. Saat terakhir dimana Merisa bisa membuat mamahnya bangga.

***
Satu bulan yang lalu…

“Mamah, Merisa dapet juara satu mah! Merisa naik kelas dengan juara umum!” Teriak Merisa senang saat sampai dirumahnya. Hari itu, Merisa memang sedang ada pengambilan raport kenaikan kelas disekolahnya. Tapi mamahnya berhalangan hadir karena jatuh sakit.

“Loh, kok sepi banget si? Mah?? Mamah dimana? Ini Merisa udah pulang mah” Merisa mencari-cari mamahnya kesudut-sudut rumah.
Tiba-tiba…

“Mah!! Mamah kenapa mah?? Mah bangun mah!! Mamaahh!!!” Merisa khawatir saat mendapati mamahnya pingsan didapur. Disebelahnya juga terdapat pecahan gelas kaca. Ternyata, mamah Merisa pingsan pada saat membawa gelas berisi air putih yang mau ia minum, namun tiba-tiba dadanya sesak dan gelasnya pecah, lalu pingsan. Ya begitulah sedikit kisah mengenai mamahnya yang tiba-tiba pingsan didapur.

***
Di rumah sakit…

“Dok, bagaimana keadaan mamah saya? Dia sudah 1 minggu dirawat disini, apa dia belum boleh pulang?” Tanya Merisa kepada dokter yang telah merawat mamahnya selama ini.

“Begini Mer, mamahmu ini keadaannya masih belum stabil, kadang sudah membaik tapi kadang menurun lagi. Saya sarankan, mamahmu dirawat disini dulu sampai benar-benar pulih ya” Kata dokter sambil menepuk pundak Merisa, lalu pergi meninggalkannya.
Merisa duduk dibangku rumah sakit didepan pintu ruangan mamahnya di rawat. Kedua tangannya menutupi mukanya yang tertunduk. Ia menangis dan tidak bisa membayangkan bagaimana jika nanti mamahnya pergi meninggalkannya. Apalagi ia sudah tidak memiliki keluarga lagi, selain mamahnya.

“Mer, nih! Coklat kesukaan lo” Kata sahabatnya yang tiba-tiba datang lalu memberikan coklat. Daridulu Merisa memang suka memakan coklat ketika ia sedih maupun senang, dan sahabatnya itu akan langsung memberikannya coklat saat mendapati Merisa bersedih, apalagi menangis. Hanya sahabat satu-satunya itulah yang bisa membuat hati Merisa tenang selain mamahnya.

“Makasih” jawab Merisa dengan sedikit tersenyum. Ia tahu sahabatnya ini sudah sangat baik dan perhatian terhadap dirinya. Belum lagi disaat seperti ini, sahabatnya ini selalu ada untuk menemani Merisa merawat mamahnya dirumah sakit. Tapi terasa sulit bagi Merisa untuk sedikit memberikan senyum kepada sahabatnya itu.

***
Dua minggu yang lalu…

Merisa berada di pemakaman mamahnya sekarang. Ia hanya bisa terdiam menatap mamahnya perlahan dikuburkan dalam tanah. Sudah tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana dan berkata apa, Merisa hanya mampu berdiri mematung memandang mamahnya pergi, pergi ke suatu tempat yang sangat jauh, ke tempat dimana ia tak akan bisa menemuinya lagi saat ini.

“Yang sabar, gue tau lo kuat” kata-kata sahabatnya itu memang obat terakhir untuk membuat Merisa bertahan. Dia memeluk Merisa, berusaha menenangkannya.

***
“Woyy!! Tidur tuh jangan disini!!!”

Merisa terbangun saat mendengar suara seseorang membangunkannya. Sialan, ternyata daritadi ia kelelahan menangisi kenangan masa lalunya sampai ketiduran dibalcon. Eh bentar, siapa yang udah bangunin gue???” kata Merisa dalam hati.

Merisa membuka matanya perlahan. Rasa lelahnya memang menahan matanya untuk tetap tertidur. Tapi ia harus tahu, siapa yang telah mengagetkan dirinya, mengganggu mimpinya, dan membangunkan tidurnya dengan cara yang tidak berkelas!

“Ellooo!!!!” Mata Merisa terbelalak saat mendapati ternyata Arislah yang telah membuatnya kesal malam ini. Jelas aja lah, siapa yang ga kesal coba kalo posisi kalian ada di posisi Merisa? Merisa seolah lupa akan keadaan sebelumnya yang benar-benar lelah dan mengantuk. Ia lalu terbangun dan mengambil bantal-bantal terdekatnya yang bisa ia raih lalu melemparkannya ke arah Aris.

“Heh! Ngapain lo disini? Ini kan kamar gue? Ngapain lo masuk kekamar gue tanpa ijin? Pake ganggu tidur gue segala lagi! Pergi sana lo! Pergi!!!”

Aris hanya berusaha menghindari serangan bantal dari Merisa tanpa berkata apapun lagi. Ia lalu pergi dan membanting pintu kamar Merisa keras-keras. Aris merasa kesal karena saat ia mencoba membangunkan Merisa yang tertidur di balcon untuk pindah ke tempat tidur ternyata sia-sia. Ia malah mendapat serangan bantal dan diusir dari kamar si cewe parasit itu.

Aris tahu, mungkin cara ia melakukan hal baik untuk Merisa ini memang salah. Harusnya dia bisa berkata lebih sopan dan lembut agar tidak mengagetkan Merisa saat ia tertidur. Tapi Aris tidak peduli, ia hanya mendapat dorongan untuk melakukan hal itu kepada Merisa. Ia tidak peduli entah caranya benar atau salah. Yang penting dia sudah melakukan hal (yang menurutnya) baik kepada Merisa.

No comments: