2
Miss will not be lost, before you forget it
“Pagi
anak-anak” sambut Bu Tari dengan ramah. Bu Tari adalah seorang guru seni musik yang menjadi idola seluruh
muridnya. Bukan hanya karena sikap beliau yang ramah dan murah senyum, tapi
beliau juga seorang guru yang mengajarkan seni musik melalui perasaan kepada murid-muridnya.
Semua orang pasti suka musik, dan semua murid juga suka Bu Tari. Bu Tari yang
cantik dan anggun membuat semua murid betah berada dikelas dan selalu
menanti-nanti pelajarannya.
“ Okeh, pagi ini Ibu akan memberikan tugas kelompok
untuk kalian”
“ Tugas apa Bu?” Tanya Vinez
“ Tugasnya membuat lagu Vinez.
Begini, ibu telah membagikan kelompok untuk kalian. Masing-masing kelompok
terdiri dari 2 anak. Satu perempuan dan satu laki-laki.”
“ Berarti, berpasangan begitu Bu?” Tanya Merisa.
“ Yah, begitulah Merisa. Kalian
dituntut untuk dapat mengekspresikan apa yang kalian rasakan melalui lagu yang
akan kalian buat. Lalu, kalian akan membawakannya saat penilaian nanti. Hasil
yang terbaik dari kelas ini akan mewakili sekolah untuk mengikuti festival musik yang akan
diselenggarakan disekolah kita pada acara HUT.”
Seluruh murid XI Science 1
berharap bahwa mereka akan berduet dengan cowo/cewe idamannya nanti. Karena
Merisa tak memiliki pria idaman di kelas ini, ia hanya berharap bahwa ia tak akan
berpasangan dengan cowo ketus itu. Aris!
Setelah Bu Tari menyebutkan satu
persatu nama muridnya beserta pasangannya, sekarang giliran nama Merisa yang
disebut. Baiklah, harapan terakhir Merisa, ia hanya berharap tidak akan
berpasangan dengan Aris. “Please Tuhaan, semoga bukan dia yang
Engkau ijinkan
berduet denganku.” Katanya dalam hati. Bahkan Arispun dengan yakinnya juga
sangat berharap demikian. “Tuhan, apapun bakal gue lakuin asal keberuntungan
gue hari ini ga bakal satu kelompok sama dia.” Mereka sama-sama berdoa.
“ Merisa, kamu satu kelompok
dengan….”
Keadaan semakin menegang.
Menegang untuk mereka berdua tentunya.
“ Aris!”
Nah kan, mampus!! Akhirnya mereka
pun harus percaya pada takdir. Takdir yang mengharuskan mereka benar-benar
menjalani skenario yang
telah Tuhan tuliskan untuk mereka. Disaat mereka bahkan sama-sama mendoakan hal
yang sama-sama tak mereka inginkan. Tapi jika Tuhan telah berkehendak, apa lagi
yang mereka bisa lakukan? Mereka mau protes sama Bu Tari? Sudah mereka coba. Sudah
mereka lakukan. Hasilnya? Tidak dikabulkan.
“Hahaha, ciecieeee” Ledek Sisil
yang bikin seisi kelas juga meledek mereka berdua. Tapi, sudah jelas kelihatan,
mereka tak suka diledek seperti itu!
“Hah? Apa ga salah bu? Kenapa
saya harus sama dia?” begitulah Aris mencoba menolak.
“Iya Bu, kenapa saya harus sama Aris?
Saya ga mau ah bu. Bisa-bisa kita ga bakalan kompak, apalagi bisa nyiptain lagu
bareng. Ya ga mungkin bisa lah Bu” Merisa mrengut.
“Loh, kalian kenapa sama-sama
menolak? Justru dengan kekompakan kalian yang seperti ini, ibu yakin kalian
yang akan mewakili sekolah kita ini dalam acara festival musik di HUT sekolah nanti.” Bu Tari tahu itu hanya
sebuah respon yang sebenarnya bersifat menolak. Ya jelas lah, Bu Tari mana mau
merubah lagi kelompok-kelompok yang sudah beliau tentukan untuk sebuah acara 4
minggu lagi. Ya, Bu Tari rasa jawabannya akan membuat mereka semangat melakukan
tugasnya. Tapi, mereka sendiri tak yakin.
“Assshhh” Merisa benar-benar masih belum
bisa menerima semua ini. Apa kubilang, semua ini sia-sia! Sebenarnya Aris juga
ingin melontarkan berbagai kalimat yang bisa mencurahkan isi hatinya bahwa ia
tak mau satu kelompok dengan Merisa. Tapi apa boleh buat? Merisa saja sudah
mencoba, apalagi dia, jelas bakalan lebih ditolak.
“Oke, selamat berkarya anak-anak,
2 minggu lagi kalian pentaskan di depan kelas beserta iringan musiknya ya. Ibu
tinggal dulu, bye” lambaian tangan Bu Tari seolah mengiringi kekesalan yang
masih tertanam di hati Merisa dan Aris.
“Hiihhh… kenapa gue harus satu
kelompok sama dia coba?”
“Sabar Mer, yaudah, jalani aja
lagi! Elo mending kali ada pasangannya, dia kan jago main alat musik, nah Lo juga jago nyanyi kan? Daripada
gue, gara-gara jumlah murid kelas kita ini ganjil, gue kebagian bikin lagu
sendiri deh!” Jawab Vinez manyun.
“Iih.. Lo tuh apaan si! Gue
mendingan jadi elo kali, yang kebagian bikin lagu sendiri daripada harus satu
kelompok sama dia!” Balas Merisa tak mau terima.
“Tapi kalian berdua sama-sama
cocok kok di bidang musik. Klop banget
deh pasti. Gue yakin
kalian bakal the best!” ujar Vinez dengan mengarahkan dua jempol tangannya ke arah
Merisa. Tapi Merisa tahu, itu tak berarti apa-apa. Kepandaian mereka di bidang
musik memang
sudah diketahui teman-teman sekelasnya termasuk Bu Tari. Dari awal Merisa
masuk, Bu Tari telah memberitahukan kepada teman-teman sekelasnya mengenai
prestasinya dibidang tarik suara. Ya, beginilah hasilnya. Hasil yang tak pernah
mereka duga.
Merisa menjawab “Cocok cocok
gimana? Yang ada gue ga bakalan bisa bikin satu lagu bareng dia. Rukun aja ga
pernah”
“Nah itu dia yang gue heran dari
lo berdua. Perasaan lo kan anak baru ya, terus lo juga belum kenal sama dia
sebelumnya kan? Kenapa lo bisa ga seakur gitu si sama dia? Ya, meskipun dia
orangnya jutek gitu, but dia care kok kalo sama cewe. Tapi kenapa sama lo engga
ya?”
Ya jelas engga lah. Karena
menurut Aris, Merisa adalah parasit yang hadir dalam keluarganya. Sekaligus
pengacau yang merusak hari-harinya.
“Ah, yaudah lah. Lupain aja.
Ngapain jadi bahas soal dia si? Ga penting banget!” jawab Merisa jutek.
“Yee.. kan elo yang daritadi
marah-marah terus bahas soal dia”
“Halah, yaudah lah. Ke kantin aja
yuk! Bete gue!” ajak Merisa
Merisa lalu menggandeng tangan
Vinez dan segera mengajaknya keluar kelas. “Nah gitu dong! Daritadi kek” kata
Vinez.
“Eh, kalian mau kemana? Tungguin
guee!!!” Teriak Sisil sambil mengikutinya dari belakang.
Dari tempat duduknya sendiri,
Aris masih menggerutu tentang tugas kelompoknya dengan Merisa. Mau tak mau ia
harus bekerja sama dengan cewe parasit itu.
***
Di
tempat lain, telah ada seseorang yang sangat merindukan Merisa. Seorang sahabat
yang selama ini selalu ada untuknya dan mengisi harinya. Sahabat yang kini
telah menghilang dari hidup Merisa sejak kesedihan terdalam menghampiri dirinya.
Lelaki itu mengusap foto
kenangannya bersama Merisa. Foto kenangan yang masih menampilkan gambar mereka
berdua jaman SMP. Jamannya mereka masih memakai seragam putih-biru. Merisa
terlihat manis dengan pita putih yang ia kenakan dirambutnya yang tergerai
panjang. “Gue bakal nemuin elo Mer, gue akan selalu jagain lo”
Lelaki itu menaruh kembali
fotonya di atas meja yang berisi penuh dengan
foto-foto Merisa dan foto-foto mereka berdua. Kenangan itu tak akan
pernah terlupakan oleh lelaki
ini. Kenangan bersama orang yang selama ini dia sayangi, dan dia tahu bahwa Merisa
juga sangat menyayanginya.
***
Pulang
sekolah…
Merisa berjalan sendirian menuju kerumahnya. Jarak antara sekolah barunya
dengan rumahnya memang tidak terlalu jauh. Ia biasa pulang jalan kaki sendirian
sampe kerumah. Karena menurutnya, ia akan lebih lama merasa tenang saat ia
sendirian seperti ini. Dirumah ia memang selalu sendiri, tapi ia tak pernah
merasa kesepian tanpa orang lain. Dirumahnya selalu ada pembantu-pembantunya
yang perhatian menanyakan apa keinginannya dan apa yang ia butuhkan. Ia merasa
menjadi princess saat berada dirumah, tapi tidak saat ia pulang sekolah seperti
ini. Sebenarnya Merisa sangat merindukan sosok sahabat lamanya. Sahabat
terdekatnya itu lama sekali tak berjumpa dengannya, sejak ia resmi di adopsi
oleh Om Haris dan pindah sekolah dengan kedua anak Om Haris yang sekarang
tinggal satu atap dengannya.
Jujur, ia sangat merindukan sosok
penopangnya itu. Ia yang selalu menjadi teman main dan teman belajar Merisa saat
disekolah maupun dirumah. Rumah mereka berdekatan sejak kecil, itu sebabnya ia
selalu bisa bertemu dengan sahabatnya itu setiap saat. Bahkan, bisa dibilang
sahabatnya itu adalah bagian dari hidupnya sejak lama.
Air mata Merisa menetes. Sambil
berjalan dan menunduk, ia terus mengingat masa-masa dimana ia selalu bisa bertemu
dengan mamahnya. Saat dimana Merisa ingin segera pulang kerumah lalu disambut
oleh mamahnya saat ia membuka pintu rumah. Bau nikmat masakan mamahnya juga
selalu menyambutnya dan menjadi alasan untuk Merisa ingin cepat pulang kerumah.
Apalagi ketika ia selalu bisa dihibur oleh sahabat kecilnya itu. Baginya, sosok
mamahnya adalah sosok arsiran pertama dan terakhir yang ia lukis dalam hidupnya
dan menceritakan kisahnya dalam gambar yang ia buat. Dan sahabatnya, adalah
sosok yang memberi warna bagi gambaran kehidupnya yang ia jalani didunia ini.
Ya, mungkin seperti itulah peran kedua sosok yang paling berharga dan ia
sayangi didunia ini. Kurang lebihnya, merekalah sosok yang selama ini selalu
mengisi hari-harinya dan menghiasi hidupnya.
***
Ketika
masih berjalan menuju kerumah, tiba-tiba Adrian menghampiri Merisa mengendarai
motor besarnya. Motor yang mungkin menjadi alasan setiap wanita ingin
menungganginya, tak peduli siapa pengendaranya. Tapi sungguh, Merisa sendiri
berpikir bahwa siapapun tak akan menolak diboncengi cowo setampan Adrian dengan
motor kerennya ini.
“ Mer, pulang sendirian lagi? Kok
jalan kaki si? Ikut aku aja sekalian yuk!”
“ Mmm, ga usah lah kak, aku
pulang sendiri aja. Udah biasa kok” tolak Merisa dengan halus. Sebenarnya ia
mau-mau saja jika harus membonceng Adrian sampai rumah. Toh, mereka berdua juga
satu rumah kan, ga ada alasan Adrian buat direpotin sama Merisa. Tapi, Merisa
memang harus membiasakan diri untuk hidup tanpa bantuan mereka. Papahnya sudah
terlalu baik untuk mengadopsi dan membiayayai seluruh tanggungan hidupnya.
Apalagi pembantu-pembantunya juga sudah cukup memanjakan Merisa dirumah.
Sekarang, masa iya dia harus dimanjain juga sama anak-anaknya. Engga! Engga
bisa! Merisa memang keras kepala.
“ Ya engga papa kali Mer, toh
kita kan juga satu rumah.”
“ Emangnya kaka engga malu apa
boncengin aku? Lagian kaka ini kan popular disekolah, kalo sampe ada yang liat,
engga takut digosipin? Apalagi kalo banyak yang tau kita tinggal satu rumah.”
Ya, Merisa memang tahu banyak
sekali yang nguber-nguber Adrian disekolah. Cewe-cewe yang naksir dia
maksudnya, bukan yang nguber-nguber mau nagih utang gara-gara dia hobi makan ga
bayar di kantin. Jangankan cewe yang nguber-nguber dia. Banci yang biasa
mangkal depan gang perumahan juga doyan banget ngecengin Adrian.
“ Ya engga lah. Ngapain mesti
malu? Kalo mereka akhirnya tahu kita satu rumah mereka bisa apa? Mau ngusir lo
dari rumah gue? Ga mungkin kan? Udah, ayo naik aja!”
“ Yaudah deh, makasih kak”
Akhirnya Merisa mau nerima tawaran Adrian buat pulang
bareng. Dari awal kan
emang Merisanya mau diboncengin Adrian, emang gengsinya aja yang gede. Urusan
utang budi, itu urusan belakangan!
Nah kan, bener. Kakaknya Aris
yang satu ini memang beda banget sama kelakuan adiknya. Bertolak belakang banget!
Kalo menurut ketampanan si bisa dinilai sebelas dua belas yah. Dengan catatan,
Adrian lebih tinggi nilainya ketimbang Aris. Tapi kalo kelakuan? Dih, ga
sebelas dua belas lagi deh! Merisa ga segan-segan kasih nilai enambelas
tujuhdua. Yang jelas, Aris enambelasnya, dan Adrian tujuhduanya. Ga usah
protes! Itu penilaian Merisa sendiri.
No comments:
Post a Comment