Friday, 22 January 2016

Chocolate Love (part 2)

2

Miss will not be lost, before you forget it

            “Pagi anak-anak” sambut Bu Tari dengan ramah. Bu Tari adalah seorang guru seni musik yang menjadi idola seluruh muridnya. Bukan hanya karena sikap beliau yang ramah dan murah senyum, tapi beliau juga seorang guru yang mengajarkan seni musik melalui perasaan kepada murid-muridnya. Semua orang pasti suka musik, dan semua murid juga suka Bu Tari. Bu Tari yang cantik dan anggun membuat semua murid betah berada dikelas dan selalu menanti-nanti pelajarannya.

“ Okeh, pagi ini Ibu akan memberikan tugas kelompok untuk kalian”

“ Tugas apa Bu?” Tanya Vinez

“ Tugasnya membuat lagu Vinez. Begini, ibu telah membagikan kelompok untuk kalian. Masing-masing kelompok terdiri dari 2 anak. Satu perempuan dan satu laki-laki.”

“ Berarti, berpasangan begitu Bu?” Tanya Merisa.

“ Yah, begitulah Merisa. Kalian dituntut untuk dapat mengekspresikan apa yang kalian rasakan melalui lagu yang akan kalian buat. Lalu, kalian akan membawakannya saat penilaian nanti. Hasil yang terbaik dari kelas ini akan mewakili sekolah untuk mengikuti festival musik yang akan diselenggarakan disekolah kita pada acara HUT.”

Seluruh murid XI Science 1 berharap bahwa mereka akan berduet dengan cowo/cewe idamannya nanti. Karena Merisa tak memiliki pria idaman di kelas ini, ia hanya berharap bahwa ia tak akan berpasangan dengan cowo ketus itu. Aris!

Setelah Bu Tari menyebutkan satu persatu nama muridnya beserta pasangannya, sekarang giliran nama Merisa yang disebut. Baiklah, harapan terakhir Merisa, ia hanya berharap tidak akan berpasangan dengan Aris. “Please Tuhaan, semoga bukan dia yang 
Engkau ijinkan berduet denganku.” Katanya dalam hati. Bahkan Arispun dengan yakinnya juga sangat berharap demikian. “Tuhan, apapun bakal gue lakuin asal keberuntungan gue hari ini ga bakal satu kelompok sama dia.” Mereka sama-sama berdoa.

“ Merisa, kamu satu kelompok dengan….”
Keadaan semakin menegang. Menegang untuk mereka berdua tentunya.

“ Aris!”

Nah kan, mampus!! Akhirnya mereka pun harus percaya pada takdir. Takdir yang mengharuskan mereka benar-benar menjalani skenario yang telah Tuhan tuliskan untuk mereka. Disaat mereka bahkan sama-sama mendoakan hal yang sama-sama tak mereka inginkan. Tapi jika Tuhan telah berkehendak, apa lagi yang mereka bisa lakukan? Mereka mau protes sama Bu Tari? Sudah mereka coba. Sudah mereka lakukan. Hasilnya? Tidak dikabulkan.

“Hahaha, ciecieeee” Ledek Sisil yang bikin seisi kelas juga meledek mereka berdua. Tapi, sudah jelas kelihatan, mereka tak suka diledek seperti itu!

“Hah? Apa ga salah bu? Kenapa saya harus sama dia?” begitulah Aris mencoba menolak.

“Iya Bu, kenapa saya harus sama Aris? Saya ga mau ah bu. Bisa-bisa kita ga bakalan kompak, apalagi bisa nyiptain lagu bareng. Ya ga mungkin bisa lah Bu” Merisa mrengut.

“Loh, kalian kenapa sama-sama menolak? Justru dengan kekompakan kalian yang seperti ini, ibu yakin kalian yang akan mewakili sekolah kita ini dalam acara festival musik di HUT sekolah nanti.” Bu Tari tahu itu hanya sebuah respon yang sebenarnya bersifat menolak. Ya jelas lah, Bu Tari mana mau merubah lagi kelompok-kelompok yang sudah beliau tentukan untuk sebuah acara 4 minggu lagi. Ya, Bu Tari rasa jawabannya akan membuat mereka semangat melakukan tugasnya. Tapi, mereka sendiri tak yakin.

Assshhh” Merisa benar-benar masih belum bisa menerima semua ini. Apa kubilang, semua ini sia-sia! Sebenarnya Aris juga ingin melontarkan berbagai kalimat yang bisa mencurahkan isi hatinya bahwa ia tak mau satu kelompok dengan Merisa. Tapi apa boleh buat? Merisa saja sudah mencoba, apalagi dia, jelas bakalan lebih ditolak.

“Oke, selamat berkarya anak-anak, 2 minggu lagi kalian pentaskan di depan kelas beserta iringan musiknya ya. Ibu tinggal dulu, bye” lambaian tangan Bu Tari seolah mengiringi kekesalan yang masih tertanam di hati Merisa dan Aris.

“Hiihhh… kenapa gue harus satu kelompok sama dia coba?”

“Sabar Mer, yaudah, jalani aja lagi! Elo mending kali ada pasangannya, dia kan jago main alat musik, nah Lo juga jago nyanyi kan? Daripada gue, gara-gara jumlah murid kelas kita ini ganjil, gue kebagian bikin lagu sendiri deh!” Jawab Vinez manyun.

“Iih.. Lo tuh apaan si! Gue mendingan jadi elo kali, yang kebagian bikin lagu sendiri daripada harus satu kelompok sama dia!” Balas Merisa tak mau terima.

“Tapi kalian berdua sama-sama cocok kok di bidang musik. Klop banget deh pasti. Gue yakin kalian bakal the best!” ujar Vinez dengan mengarahkan dua jempol tangannya ke arah Merisa. Tapi Merisa tahu, itu tak berarti apa-apa. Kepandaian mereka di bidang musik memang sudah diketahui teman-teman sekelasnya termasuk Bu Tari. Dari awal Merisa masuk, Bu Tari telah memberitahukan kepada teman-teman sekelasnya mengenai prestasinya dibidang tarik suara. Ya, beginilah hasilnya. Hasil yang tak pernah mereka duga.

Merisa menjawab “Cocok cocok gimana? Yang ada gue ga bakalan bisa bikin satu lagu bareng dia. Rukun aja ga pernah”

“Nah itu dia yang gue heran dari lo berdua. Perasaan lo kan anak baru ya, terus lo juga belum kenal sama dia sebelumnya kan? Kenapa lo bisa ga seakur gitu si sama dia? Ya, meskipun dia orangnya jutek gitu, but dia care kok kalo sama cewe. Tapi kenapa sama lo engga ya?”

Ya jelas engga lah. Karena menurut Aris, Merisa adalah parasit yang hadir dalam keluarganya. Sekaligus pengacau yang merusak hari-harinya.

“Ah, yaudah lah. Lupain aja. Ngapain jadi bahas soal dia si? Ga penting banget!” jawab Merisa jutek.

“Yee.. kan elo yang daritadi marah-marah terus bahas soal dia”

“Halah, yaudah lah. Ke kantin aja yuk! Bete gue!” ajak Merisa
Merisa lalu menggandeng tangan Vinez dan segera mengajaknya keluar kelas. “Nah gitu dong! Daritadi kek” kata Vinez.

“Eh, kalian mau kemana? Tungguin guee!!!” Teriak Sisil sambil mengikutinya dari belakang.

Dari tempat duduknya sendiri, Aris masih menggerutu tentang tugas kelompoknya dengan Merisa. Mau tak mau ia harus bekerja sama dengan cewe parasit itu.

***

            Di tempat lain, telah ada seseorang yang sangat merindukan Merisa. Seorang sahabat yang selama ini selalu ada untuknya dan mengisi harinya. Sahabat yang kini telah menghilang dari hidup Merisa sejak kesedihan terdalam menghampiri dirinya.
Lelaki itu mengusap foto kenangannya bersama Merisa. Foto kenangan yang masih menampilkan gambar mereka berdua jaman SMP. Jamannya mereka masih memakai seragam putih-biru. Merisa terlihat manis dengan pita putih yang ia kenakan dirambutnya yang tergerai panjang. “Gue bakal nemuin elo Mer, gue akan selalu jagain lo”

Lelaki itu menaruh kembali fotonya di atas meja yang berisi penuh dengan  foto-foto Merisa dan foto-foto mereka berdua. Kenangan itu tak akan pernah terlupakan oleh lelaki ini. Kenangan bersama orang yang selama ini dia sayangi, dan dia tahu bahwa Merisa juga sangat menyayanginya.

***

            Pulang sekolah…

Merisa berjalan sendirian menuju kerumahnya. Jarak antara sekolah barunya dengan rumahnya memang tidak terlalu jauh. Ia biasa pulang jalan kaki sendirian sampe kerumah. Karena menurutnya, ia akan lebih lama merasa tenang saat ia sendirian seperti ini. Dirumah ia memang selalu sendiri, tapi ia tak pernah merasa kesepian tanpa orang lain. Dirumahnya selalu ada pembantu-pembantunya yang perhatian menanyakan apa keinginannya dan apa yang ia butuhkan. Ia merasa menjadi princess saat berada dirumah, tapi tidak saat ia pulang sekolah seperti ini. Sebenarnya Merisa sangat merindukan sosok sahabat lamanya. Sahabat terdekatnya itu lama sekali tak berjumpa dengannya, sejak ia resmi di adopsi oleh Om Haris dan pindah sekolah dengan kedua anak Om Haris yang sekarang tinggal satu atap dengannya.

Jujur, ia sangat merindukan sosok penopangnya itu. Ia yang selalu menjadi teman main dan teman belajar Merisa saat disekolah maupun dirumah. Rumah mereka berdekatan sejak kecil, itu sebabnya ia selalu bisa bertemu dengan sahabatnya itu setiap saat. Bahkan, bisa dibilang sahabatnya itu adalah bagian dari hidupnya sejak lama.

Air mata Merisa menetes. Sambil berjalan dan menunduk, ia terus mengingat masa-masa dimana ia selalu bisa bertemu dengan mamahnya. Saat dimana Merisa ingin segera pulang kerumah lalu disambut oleh mamahnya saat ia membuka pintu rumah. Bau nikmat masakan mamahnya juga selalu menyambutnya dan menjadi alasan untuk Merisa ingin cepat pulang kerumah.

Apalagi ketika ia selalu bisa dihibur oleh sahabat kecilnya itu. Baginya, sosok mamahnya adalah sosok arsiran pertama dan terakhir yang ia lukis dalam hidupnya dan menceritakan kisahnya dalam gambar yang ia buat. Dan sahabatnya, adalah sosok yang memberi warna bagi gambaran kehidupnya yang ia jalani didunia ini. Ya, mungkin seperti itulah peran kedua sosok yang paling berharga dan ia sayangi didunia ini. Kurang lebihnya, merekalah sosok yang selama ini selalu mengisi hari-harinya dan menghiasi hidupnya.

***

            Ketika masih berjalan menuju kerumah, tiba-tiba Adrian menghampiri Merisa mengendarai motor besarnya. Motor yang mungkin menjadi alasan setiap wanita ingin menungganginya, tak peduli siapa pengendaranya. Tapi sungguh, Merisa sendiri berpikir bahwa siapapun tak akan menolak diboncengi cowo setampan Adrian dengan motor kerennya ini.

“ Mer, pulang sendirian lagi? Kok jalan kaki si? Ikut aku aja sekalian yuk!”

“ Mmm, ga usah lah kak, aku pulang sendiri aja. Udah biasa kok” tolak Merisa dengan halus. Sebenarnya ia mau-mau saja jika harus membonceng Adrian sampai rumah. Toh, mereka berdua juga satu rumah kan, ga ada alasan Adrian buat direpotin sama Merisa. Tapi, Merisa memang harus membiasakan diri untuk hidup tanpa bantuan mereka. Papahnya sudah terlalu baik untuk mengadopsi dan membiayayai seluruh tanggungan hidupnya. Apalagi pembantu-pembantunya juga sudah cukup memanjakan Merisa dirumah. Sekarang, masa iya dia harus dimanjain juga sama anak-anaknya. Engga! Engga bisa! Merisa memang keras kepala.

“ Ya engga papa kali Mer, toh kita kan juga satu rumah.”

“ Emangnya kaka engga malu apa boncengin aku? Lagian kaka ini kan popular disekolah, kalo sampe ada yang liat, engga takut digosipin? Apalagi kalo banyak yang tau kita tinggal satu rumah.”

Ya, Merisa memang tahu banyak sekali yang nguber-nguber Adrian disekolah. Cewe-cewe yang naksir dia maksudnya, bukan yang nguber-nguber mau nagih utang gara-gara dia hobi makan ga bayar di kantin. Jangankan cewe yang nguber-nguber dia. Banci yang biasa mangkal depan gang perumahan juga doyan banget ngecengin Adrian.

“ Ya engga lah. Ngapain mesti malu? Kalo mereka akhirnya tahu kita satu rumah mereka bisa apa? Mau ngusir lo dari rumah gue? Ga mungkin kan? Udah, ayo naik aja!”

“ Yaudah deh, makasih kak” Akhirnya Merisa mau nerima tawaran Adrian buat pulang 
bareng. Dari awal kan emang Merisanya mau diboncengin Adrian, emang gengsinya aja yang gede. Urusan utang budi, itu urusan belakangan!


Nah kan, bener. Kakaknya Aris yang satu ini memang beda banget sama kelakuan adiknya. Bertolak belakang banget! Kalo menurut ketampanan si bisa dinilai sebelas dua belas yah. Dengan catatan, Adrian lebih tinggi nilainya ketimbang Aris. Tapi kalo kelakuan? Dih, ga sebelas dua belas lagi deh! Merisa ga segan-segan kasih nilai enambelas tujuhdua. Yang jelas, Aris enambelasnya, dan Adrian tujuhduanya. Ga usah protes! Itu penilaian Merisa sendiri.

No comments: